Sabtu, 12 Juli 2014

Ayo, Wisata ke Desa Tembi!


 
  Hari masih pagi. Anak-anak sedang sibuk berangkat ke sekolah, beberapa ibu mulai berbelanja di pasar, dan para petani mulai bekerja di sawah. Pagi itu, di pertigaan jalan setapak desa, sepasang wisatawan asing, lengkap dengan perlengkapan backpack sedang asyik mengamati peta Desa Tembi. Tangan mereka menunjuk beberapa gambar rumah, dan melihat ke arah jalan. Mereka sepertinya ingin jalan-jalan mengelilingi Desa Tembi. Apa ya yang mereka ingin nikmati? Keteduhan, keasrian, dan nuansa ndeso Jowo yang khas-lah yang ingin dinikmati mereka. Itulah kekhasan Desa Tembi yang teduh. Kawasan wisata di Bantul, Yogyakarta yang mulai dilirik dan diminati untuk dinikmati.
           

Jathilan a la Muda Tamtama Tembi

          Sekali lagi, musik jathilan kembali mengalun di malam hari. Musik jathilan yang khas dan keras menambahkan suasana meriah di malam itu. Bunyi pukulan gong, kenong, kendang, drum kecil, dan angklung menarik perhatian warga sekitar. Lalu, berkumpullah anak-anak kecil, beberapa kaum muda, para orangtua, dan penjual siomay. Mereka hendak menikmati suasana malam ditemani muda tamtama yang latihan jathilan. Inilah kemeriahan muda tamtama mengisi ramadan dan menyambut lebaran 2014.

Jumat, 11 Juli 2014

‘Mengupas’ Buah Raja

              Tembi berasal dari kata katemben, yaitu penitipan anak raja. Sebuah desa untuk mendidik para anak raja, yang kala itu terjadi perpindahan kekuasaan kraton dari Kota Gede ke Pleret. Tembi berusaha menjaga akhlak anak-anak raja tersebut. Itulah keunikan pertama. Selain itu, Tembi memiliki keunikan yang lain, yaitu adanya buah raja. Dipercaya, buah tersebut dimakan para raja dan anak raja kala itu. Apa itu buah raja? Marilah kita ‘mengupas’nya dan ‘menikmati’nya..

Rabu, 09 Juli 2014

Kita Satu Warga, Satu Saudara


      Mengikuti pemilu presiden di Desa Wisata Tembi menuai pengalaman unik yang tidak akan pernah saya lupakan. Sebuah pengalaman yang belum pernah terjadi selama hidup saya. Pengalaman yang membuka lembaran sejarah hidup saya. Dapat dikatakan sebagai pengalaman khas dan khusus terjadi di Tembi. Lalu pertanyaannya apakah sesungguhnya yang terjadi di Tembi saat pemilu?
        Ketika pilpres semakin mendekat, saya merasa kuatir dengan hak pilih saya, apakah saya dapat menyumbangkan hak pilih sebagai bentuk tanggung jawab seorang warga negara. Saya merasa tidak ada harapan mendapatkan A5. Sebagai seorang pendatang yang ber-KTP luar daerah (Flores), saya merasa harapan untuk ikut nyoblos tidak akan tercapai. Kekuatiran  itu segera teratasi ketika Pak ketua RT mengundang saya ke rumahnya untuk mengambil surat izin domisili.

'Penitipan Anak Raja' yang Teduh



      Katemben, penitipan anak raja. Itulah asal kata dari nama Desa Tembi. Sebuah desa di Jalan Parangtritis km 8-11, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Asal-usul cerita yang mengisahkan perpecahan intern Kerajaan Mataram, mengharuskan menitipkan anak-anak Raja di Desa Tembi agar tidak terlibat perselisihan. Hingga sekarang, itulah yang dipercaya oleh penduduk di Desa Tembi. Mereka hidup untuk menjaga akhlak anak mereka tetap baik dan terjaga, seperti anak-anak raja.
         

Senin, 07 Juli 2014

Muda Tamtama Berekspresi



Kehadiran musik di dunia modern sudah merupakan kebutuhan bagi setiap orang khususnya kaum muda. Musik yang dahulu hanya sebagai sarana pelengkap, kini sudah menjadi suatu kebutuhan. Kebutuhan akan musik dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan terhadap nilai estetis yang mengarah kepada kebutuhan jiwa.
Kaum muda di Kampung Wisata Tembi (Muda Tamtama) memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dalam bidang musik. Sebagai orang muda, mereka berinisiatif membentuk kelompok musik yang menamakan diri "kreasi baru". Sebutan ini didasarkan pada pemahaman mereka akan pentingnya sebuah alat musik. Peralatan musik yang dikembangkan kaum muda tamtama ini adalah alat musik kreasi baru.

Jathilan, Lampion, dan Muda Tamtama


     Setelah shalat tarawih, musik jathilan mulai mengalun. Bukan untuk mengadakan jathilan, tetapi sekelompok muda-mudi mengadakan suatu kegiatan yang berbeda dan menarik, yaitu membuat lampion dan latihan musik ‘kreasi baru’. Mereka berkumpul di rumah Bpk. Hendrato, ketua RT 02, Desa Wisata Tembi. Musik jathilan yang menjadi backsound menemani kebersamaan dan persaudaraan yang kreatif di dalam kegiatan tersebut. Inilah wajah muda-mudi Desa Wisata Tembi (muda tamtama) di malam hari.

Merasakan Kemeriahan Takjilan Tembi


   Berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat merupakan jalan masuk ke dalam pengenalan nilai kerukunan yang diwariskan bersama. Takjilan adalah salah satu acara Masjid dalam rangka  membuka puasa bersama. Kehadiran kami  dalam acara itu memberikan warna berbeda dari yang biasanya. Jemaah yang hadir dalam takjilan itu tentu saja mempertanyakan keberadaan kami karena kami berlima mengenakan jas almamater Sanata Dharma. Kami pun segera berbaur dengan para muda mudi yang bertugas menyiapkan makanan di tenda yang letaknya persis di depan Masjid.

Minggu, 06 Juli 2014

‘Kejutan’ dari Anak-Anak Tembi

         Saat itu, malam sunyi menyelimuti Desa Tembi. Tak terkecuali homestay yang saya tempati. Hanya lampu andong bernyala kuning menghiasi malam itu. Tak ada aktivitas warga di luar rumah. Sunyi-lah yang ada. Di balik kesunyian itu, ternyata ada sebuah aktivitas yang dilakukan anak-anak Tembi, yaitu tentang kertas.

Kerajinan itu Tak Ada Batasnya



Bapak Surya Hendrato tidak dapat terus-terusan mengikuti arus umum. Tangan cekatannya selalu menjadi daya kreatif kerajinan yang digeluti. Dia mendirikan Maju Mapan, sebuah nama usaha kerajinan di kediamannya berinspirasikan dari nomor hanphone nya, 085643-40-5758.

‘Sambutan Meriah’ Anak-Anak


     Pagi itu, terdengar tawa meriah dan teriakan heboh. Sekelompok anak kecil sedang bermain di kebun. Mereka sepertinya sedang bermain masak-masakan. Terlihat di sana, ada daun pisang, tanah, air, panci kecil, sendok bebek, pisau, dll. Ada yang mengaduk tanah, membungkus tanah dengan daun pisang, dan memotong-motong daun. Sesekali terlihat ada interaksi jual beli bungkusan tanah tersebut. Kadang mereka juga tertawa bersama karena suatu hal tertentu. Itulah kemeriahan Farenta, Reni, Tria, dan Eka yang terpancar di tengah ibadah puasa yang mereka lakukan.

Rabu, 02 Juli 2014

“Penampakan Wajah di Balik Desa Tembi”


          Abad 16, Musuh Kesultanan Pajang, Arya Penangsang berhasil dikalahkan Ki Ageng Pemanahan. Tak seorang pun mengira bahwa peristiwa tersebut menjadi sebuah sejarah besar bagi eksistensi Desa Tembi.
      Kekalahan Arya Penangsang menghadirkan Alas Mentaok sebagai hadiah Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1558. Ki Ageng Pemanahan mengubah wajah Alas Mentaok menjadi lebih beradab. Kotagede adalah wajah baru itu, yang mulai berdiri pada tahun 1577. Tujuh tahun lamanya Ki Ageng Pemanahan mendirikan dan memimpin wajah baru, Kotagede. Pada tahun 1584, wajah baru itu ditinggalkan oleh pendirinya untuk selamanya. 
       Kematian pendiri, tidak membuat si wajah baru merasa lelah untuk berdiri. Sutawijaya yang bergelar Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama menjadi penggantinya untuk mengawal wajah Kotagede. Sutawijaya yang lebih akrab disebut Panembahan Senapati itu, kini mengajarkan wajah Kotagede untuk sedikit mendongak.

Kesanku terhadap Tembi

  
     Pertama kali tiba di Kampung Tembi, aku merasakan sesuatu yang berbeda dengan kampung lain. Suasana lingkungan yang tenang dan damai membuat aku merasa nyaman dengan lingkungan ini. Selain suasananya tenang, masyarakatnya pun sangat ramah dengan siapa saja yang berkunjung ke tempat ini.

'Teguran' yang Mempererat Kasih Persaudaraan




Di hari pertama kehadiran kami di kampung wisata Tembi, kami  merasakan  tawaran  pesona dari tampilan wajah lugu sebuah desa. Keluguan dan kesederhaan Tembi menimbulkan pertanyaan eksistensial ‘ada apa di balik kesederhanaan Tembi’?