Di hari pertama kehadiran kami di
kampung wisata Tembi, kami
merasakan tawaran pesona dari tampilan wajah lugu sebuah desa.
Keluguan dan kesederhaan Tembi menimbulkan pertanyaan eksistensial ‘ada apa di
balik kesederhanaan Tembi’?
Penerimaan yang hangat dan penuh kasih
persaudaraan dari warga setempat, kami merasa seakan-akan seperti rumah
sendiri. Peneriman tulus tersebut menyebabkan salah satu dari kami melakukan
suatu kesalahan kecil yang menurut kebiasaan setempat mengganggu ketenangan.
Ketika teman kami mengenderai sepeda motor mega-pro, ia secara tidak sengaja mbleyer-mbleyer motornya dan menimbulkan
kegaduhan. Bisa dimaklumi, teman kami yang satu itu berasal dari Timor dengan
temperamen khusus. Kesalahan kedua yang dilakukan salah satu dari teman kami
adalah berjalan-jalan di waktu senja dengan mengenakan celana pendek. Kedua
perbuatan yang tak "terpuji" itu mendapatkan perhatian dari warga.
Pada pertemuan bersama tokoh-tokoh
masyarakat pada malam harinya, salah satu dari pemuka masyarakat yang hadir
memberikan "teguran persaudaraan" atas perbuatan teman kami itu.
Setelah merefleksikan, sebetulnya teguran itu merupakan ajakan dan sekaligus
undangan bagi kami untuk menjaga dan memelihara suasana ketenangan selama
berada di lingkungan masyarakat Tembi. Kami juga melihat teguran itu lebih sebagai sapaan
untuk mempererat relasi kasih persaudaan antara kami dan warga.
Makna yang bisa diperoleh dari
peristewa kecil di atas, bahwa siapapun yang mendapatkan kesempatan sejenak
menikmati keindahan kampung wisata Tembi hendaknya perpartisipasi dalam
memelihara dan menjaga ketenangan dan kedamaian serta nilai sopan santun yang
berlaku dalam masyarakat. Dalam ketenangan kita akan mampu masuk ke dalam
keheningan yang memungkinkan kita menemukan nilai-nilai yang tersembunyi di
balik Tembi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar