Abad 16, Musuh Kesultanan Pajang, Arya Penangsang
berhasil dikalahkan Ki Ageng Pemanahan. Tak seorang pun mengira bahwa peristiwa
tersebut menjadi sebuah sejarah besar bagi eksistensi Desa Tembi.
Kekalahan Arya Penangsang menghadirkan Alas Mentaok sebagai hadiah Sultan
Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1558. Ki Ageng Pemanahan mengubah
wajah Alas Mentaok menjadi lebih
beradab. Kotagede adalah wajah baru itu, yang mulai berdiri pada tahun 1577.
Tujuh tahun lamanya Ki Ageng Pemanahan mendirikan dan memimpin wajah baru,
Kotagede. Pada tahun 1584, wajah baru itu ditinggalkan oleh pendirinya untuk
selamanya.
Kematian pendiri, tidak membuat si wajah baru merasa lelah untuk berdiri. Sutawijaya yang bergelar Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama menjadi penggantinya untuk mengawal wajah Kotagede. Sutawijaya yang lebih akrab disebut Panembahan Senapati itu, kini mengajarkan wajah Kotagede untuk sedikit mendongak.
Kematian pendiri, tidak membuat si wajah baru merasa lelah untuk berdiri. Sutawijaya yang bergelar Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama menjadi penggantinya untuk mengawal wajah Kotagede. Sutawijaya yang lebih akrab disebut Panembahan Senapati itu, kini mengajarkan wajah Kotagede untuk sedikit mendongak.
Selama 17 tahun saja Kotagede bisa mendongakkan wajah
bersama Panembahan Senapati. Pada tahun 1601, Mas Jolang menggantikan
Panembahan Senapati yang wafat. Mulai tahun tersebut, 12 tahun masa hidup Mas
Jolang diabdikan untuk menjaga wajah Kotagede mendongak penuh wibawa. Pengabdian
serupa terus dilanjutkan oleh Pangeran Arya Martapura, putra Mas Jolang. Dari
pengabdian Pangeran Arya Martapura itulah kakaknya yaitu Raden Mas Rangsang
masih dapat merasakan hadirnya kebesaran Panembahan Senapati.
Raden Mas Rangsang mencoba untuk menghadirkan kembali
semangat para pendiri. Dengan bergelar Sultan
Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman, diwujudkannya wajah Kotagede yang
semakin kokoh dan makmur. Sayang, sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1645,
wajah Kotagede cemberut oleh perpecahan dan pertentangan keluarga Kerajaan.
Orang-orang dewasa di lingkungan Kerajaan saling
memancarkan aura negatif nan haus kekuasaan. Menghindari aura negatif itu
mengakar dalam, generasi muda yakni anak-anak raja dititipkan di suatu tempat.
Nama tempat itu adalah Tembi. Situasi yang sunyi dan jauh dari kegaduhan
situasi Kerajaan menjadikan Tembi tempat yang baik mengolah rohani. Di bawah
asuhan Kyai Tembini dan Nyai Tembini, anak-anak raja mengolah Kanuragan. Tidak
hanya itu, anak-anak raja juga dibina agar kelak menjadi anak yang berbudi dan
bermartabat. Anak-anak itu terus bertumbuh menjadi pribadi yang peka akan
kebutuhan sesama. Dengan demikian Kyai Tembini dan Nyai Tembini mulai melepas
anak-anak raja untuk mengarungi kehidupan yang lebih luas, berjumpa dengan
wajah-wajah baru. Dengan penuh kelegaan jiwa Kyai Tembini dan Nyai Tembinipun
terlepas dari tubuh renta menyatu dalam kebesaran alam.
Tiga setengah abad sesudahnya, pada tanggal 27 September 1997, Desa Tembi ditetapkan sebagai
kawasan desa wisata. Pohon Preh Besar di tengah desa Tembi menjadi tonggak dimakamkannya Kyai
dan Nyai Tembini bersama siswanya yang bernama Kyai Diposono. Kini desa Tembi berdiri dengan kokoh dengan
keramahan warganya dan terus membuka diri bagi siapa saja yang ingin berkunjung
mengolah “kanuragan”. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar