Rabu, 09 Juli 2014

'Penitipan Anak Raja' yang Teduh



      Katemben, penitipan anak raja. Itulah asal kata dari nama Desa Tembi. Sebuah desa di Jalan Parangtritis km 8-11, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Asal-usul cerita yang mengisahkan perpecahan intern Kerajaan Mataram, mengharuskan menitipkan anak-anak Raja di Desa Tembi agar tidak terlibat perselisihan. Hingga sekarang, itulah yang dipercaya oleh penduduk di Desa Tembi. Mereka hidup untuk menjaga akhlak anak mereka tetap baik dan terjaga, seperti anak-anak raja.
         
Zaman modern kadang menolak mitos dalam bentuk apapun. Mitos dan cerita asal-usul hanya isapan jempol yang tidak dapat diterima secara rasional. Orang modern selalu menuntut nalar / logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, bagi orang postmodern yang menolak grand recits, dapat mengambil makna dibalik kisah tersebut.
     Kisah tersebut ternyata tidak ditinggalkan begitu saja. Kebiasaan untuk mendidik akhlak tetap dipertahankan oleh penduduk. Hal tersebut tampak dalam perilaku harian. Mereka selalu menjunjung kebaikan dan keharmonisan. Bentuk fisik yang dapat dilihat adalah dengan hadirnya rumah limasan. Rumah dengan model limasan tersebut menjadi saksi bahwa mereka sebagai orang Jawa yang hidup di tengah modernitas tetap menghargai kebudayaan Jawa. Ada keseimbangan antara tradisi dan modernitas.
       Hal lain adalah tentang keramahan. Banyak wisatawan asing yang berkunjung di Desa Tembi dan banyak mahasiswa atau pihak luar yang mengadakan acara di Desa Tembi ini. Penduduk tidak menutup diri, tetapi mau membaur dan menerima dengan hangat. Penduduk yang berniat baik diterima sedangkan yang berniat tidak baik akan mendapat tulahnya sendiri.
        Itulah suasana ‘penitipan anak raja’ yang teduh. Di tengah panas dan hiruk-pikuk kota, masih hadir sebuah tempat yang konon disebut ‘penitipan anak raja’, menunjukkan wajah yang adem-ayem. Maka, rasakanlah ‘penitipan anak raja’! Datang dan ambillah makna dari sebuah Desa Tembi, Bantul, Yogyakarta.
          Akhirnya, percaya secara kritis terhadap mitos bukanlah sebuah cara pikir tradisional, tetapi cara pikir post-modern yang mencoba menghargai local wisdom, kritis terhadap kemajuan modern, dan tetap mengutamakan keseimbangan antara humanisme dan kemajuan teknologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar