Katemben, penitipan anak
raja. Itulah asal kata dari nama Desa Tembi. Sebuah desa di Jalan Parangtritis
km 8-11, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Asal-usul cerita yang
mengisahkan perpecahan intern Kerajaan Mataram, mengharuskan menitipkan
anak-anak Raja di Desa Tembi agar tidak terlibat perselisihan. Hingga sekarang,
itulah yang dipercaya oleh penduduk di Desa Tembi. Mereka hidup untuk menjaga
akhlak anak mereka tetap baik dan terjaga, seperti anak-anak raja.
Zaman modern kadang menolak mitos dalam bentuk apapun. Mitos dan cerita asal-usul hanya isapan jempol yang tidak dapat diterima secara rasional. Orang modern selalu menuntut nalar / logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, bagi orang postmodern yang menolak grand recits, dapat mengambil makna dibalik kisah tersebut.
Kisah tersebut ternyata tidak
ditinggalkan begitu saja. Kebiasaan untuk mendidik akhlak tetap dipertahankan
oleh penduduk. Hal tersebut tampak dalam perilaku harian. Mereka selalu menjunjung
kebaikan dan keharmonisan. Bentuk fisik yang dapat dilihat adalah dengan
hadirnya rumah limasan. Rumah dengan model limasan tersebut menjadi saksi bahwa
mereka sebagai orang Jawa yang hidup di tengah modernitas tetap menghargai
kebudayaan Jawa. Ada keseimbangan antara tradisi dan modernitas.
Hal lain adalah tentang keramahan. Banyak
wisatawan asing yang berkunjung di Desa Tembi dan banyak mahasiswa atau pihak
luar yang mengadakan acara di Desa Tembi ini. Penduduk tidak menutup diri,
tetapi mau membaur dan menerima dengan hangat. Penduduk yang berniat baik
diterima sedangkan yang berniat tidak baik akan mendapat tulahnya sendiri.
Itulah suasana ‘penitipan anak raja’
yang teduh. Di tengah panas dan hiruk-pikuk kota, masih hadir sebuah tempat
yang konon disebut ‘penitipan anak raja’, menunjukkan wajah yang adem-ayem.
Maka, rasakanlah ‘penitipan anak raja’! Datang dan ambillah makna dari sebuah
Desa Tembi, Bantul, Yogyakarta.
Akhirnya, percaya secara kritis
terhadap mitos bukanlah sebuah cara pikir tradisional, tetapi cara pikir
post-modern yang mencoba menghargai local
wisdom, kritis terhadap kemajuan modern, dan tetap mengutamakan
keseimbangan antara humanisme dan kemajuan teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar